Sabtu , 26- Juli - 2025
BerandaNASIONALKlarifikasi Isu Tanah Kosong Diambil Negara, Dirjen PPTR: SHM Tidak Sama dengan...

Klarifikasi Isu Tanah Kosong Diambil Negara, Dirjen PPTR: SHM Tidak Sama dengan HGU dan HGB

LAMANINDO.COM, JAKARTA – Isu tentang pengambilalihan tanah bersertipikat oleh negara jika dibiarkan kosong selama dua tahun belakangan ramai diperbincangkan publik. Menanggapi hal ini, Direktur Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang (Dirjen PPTR) Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Jonahar, meluruskan informasi tersebut dan menjelaskan perbedaan kriteria penertiban tanah berdasarkan jenis haknya.

Menurut Jonahar, kebijakan penertiban tanah telantar saat ini difokuskan pada tanah berstatus Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB) yang dimiliki oleh badan hukum. Adapun tanah Hak Milik (SHM) memiliki kriteria tersendiri dalam penetapannya sebagai tanah telantar.

“Penertiban tanah hak milik hanya dapat dilakukan jika memenuhi kriteria tertentu, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar,” jelas Jonahar.

Dalam aturan tersebut, tanah SHM dapat ditertibkan apabila:

  1. Dikuasai pihak lain dan berubah menjadi kawasan permukiman,
  2. Dikuasai pihak lain selama 20 tahun berturut-turut tanpa hubungan hukum dengan pemilik, dan/atau
  3. Tidak menjalankan fungsi sosial sebagaimana mestinya.

Jonahar menegaskan bahwa kebijakan penertiban tanah bertujuan untuk mencegah konflik pertanahan dan mengatur pemanfaatan tanah agar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Sementara itu, kriteria penertiban tanah HGU dan HGB lebih tegas. Berdasarkan PP 20/2021, tanah dengan status HGU dan HGB bisa ditetapkan sebagai objek penertiban jika dalam jangka waktu dua tahun sejak hak diterbitkan tidak diusahakan, tidak digunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan peruntukan yang diajukan saat permohonan hak.

Dirjen PPTR pun mengimbau masyarakat untuk merawat dan menjaga tanah yang dimilikinya, baik yang sedang ditempati maupun yang berada jauh dari tempat tinggal, agar tidak menimbulkan masalah hukum di kemudian hari.

“Kalau HGU, ya ditanami sesuai proposal awalnya. Kalau HGB, dibangun sesuai dengan peruntukannya. Kalau hak milik, jangan sampai dikuasai pihak lain,” tegasnya.

Jonahar menutup pernyataannya dengan menekankan bahwa kebijakan ini bukan untuk mengambil alih tanah milik masyarakat, melainkan demi optimalisasi pemanfaatan tanah secara adil dan bertanggung jawab, sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945.

“Prinsipnya, tanah dan sumber daya agraria harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat,” pungkasnya.(mw/rt/sr)

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Populer

Kalau mau Copy, Baca AL-Fatihah 7X