LAMANINDO.COM – Matahari siang, Sabtu (20/9/2025), menancapkan panasnya di atas Desa Nggulanggula, Kecamatan Siompu. Udara terasa berat, namun tak mampu menghalangi langkah ratusan orang yang terus berdatangan. Pelataran Baruga Binawakili penuh sesak, hingga terasa bergetar oleh suara gendang yang memanggil dari pusat arena. Di situlah, sebuah kisah ratusan tahun kembali dihidupkan Tari Fomani, warisan leluhur yang lahir dari tanah Siompu.
Di tengah lapangan, dua pria perkasa memasuki arena. Tubuh mereka telanjang dada, hanya diselimuti selempang kain merah putih yang melintang di dada. Cahaya matahari yang menyengat menyorot otot-otot mereka yang menegang, seperti prajurit siap perang. Keringat menetes, namun tatapan mata keduanya tajam, saling menantang. Dentum gendang mulai dipacu lebih cepat, dan seketika tubuh mereka bergerak: beradu langkah, beradu ketangkasan, seakan kembali pada masa pasukan Gajah Mada menaklukkan nusantara.
Sorak-sorai pecah dari penonton. Ratusan, bahkan ribuan orang yang memadati pelataran baruga bersorak setiap kali gerakan tajam itu dilancarkan. Di barisan depan, Bupati Buton Selatan, H. Muhammad Adios, duduk bersama Ketua TP-PKK, Hj. Norma Adios, serta jajaran kepala OPD dan anggota DPRD Buton Selatan. Semua menyaksikan dengan seksama, seakan ikut larut dalam energi yang memancar dari arena.
“Fomani ini bukan sekadar tarian, ia adalah tameng kehidupan. Ada keseimbangan antara Tuhan, manusia, dan alam yang tercermin dalam setiap gerakan,” ujar La Ode Haerudin, Kepala Dinas Kebudayaan Buton Selatan, yang turut hadir memantau jalannya puncak pesta adat Meta’ua. Baginya, momen ini adalah bukti bahwa budaya leluhur masih hidup dan bernapas di tengah masyarakat modern.
Tari Fomani memang istimewa. Ia selalu hadir di penghujung rangkaian pesta adat Meta’ua, menjadi klimaks sekaligus penutup yang membakar semangat. Dua penari akan terus bergantian, saling adu ketangkasan tanpa mengenal lelah, dari awal hingga akhir. Tak ada keraguan dalam setiap hentakan kaki, tak ada keraguan dalam setiap ayunan tombak dan parang imajiner yang dimainkan.
Sejarah mencatat, Siompu sejak zaman Kesultanan Buton merupakan salah satu dari 72 kadie atau wilayah yang berada di bawah naungan sultan. Dari tanah ini, Tari Fomani lahir dan diwariskan turun-temurun. Menurut Pomili Womal, Pembina Adat Binawakili sekaligus anggota DPRD Buton Selatan, usia tari ini sudah mencapai lebih dari 668 tahun. “Pada zaman Kesultanan Buton Dayanu Iksanudin, Siompu terdiri dari 72 kadie yang dipimpin seorang bonto bersama empat parabela. Dari sinilah Tari Fomani hidup, dan hingga kini ia tetap menjadi identitas masyarakat Siompu,” jelasnya.
Sekitar pukul 13.30 WITA, pertunjukan dimulai. Panas matahari tak menyurutkan semangat penari maupun penonton. Justru, terik itu seolah menjadi bagian dari ritual: membakar tubuh, menguatkan jiwa. Dentuman gendang yang dimainkan dengan ritme cepat menyalakan energi seluruh arena. Hentakan kaki penari seolah menggema, seirama dengan degup jantung ribuan orang yang menyaksikan.
Hampir dua jam, dari awal hingga pukul 15.00 WITA, pertunjukan berlangsung tanpa jeda. Para penari bergantian masuk arena, memastikan tradisi itu tak sekadar dipertontonkan, tapi benar-benar dihidupi. Setiap gerakan membawa pesan: perjuangan, keberanian, dan keseimbangan.
Bagi masyarakat Siompu, Meta’ua bukan hanya pesta adat, melainkan ruang perjumpaan dengan sejarah. Digelar setiap tahun, tradisi ini selalu ditutup dengan Tari Fomani yang menjadi puncak pertunjukan. Setiap kali gendang berdentum dan dua penari beradu di tengah lapangan, masyarakat seolah diingatkan kembali pada akar jati diri mereka.
Dan sore itu, di bawah langit Siompu, ketika tubuh penari terakhir keluar dari arena, suara gendang pun perlahan terhenti. Namun gema semangatnya tak pernah padam, ia tetap hidup di dada masyarakat adat Binawakili, sebagai bara warisan budaya yang terus menyala dari generasi ke generasi.
Sekadar diketahui, Tari Fomani merupakan salah satu tarian tradisional yang hidup di tengah masyarakat Siompu, Buton Selatan. Tarian ini dikenal sebagai tarian perang, menggambarkan semangat kepahlawanan, kekuatan, dan persatuan para leluhur ketika menghadapi musuh.
Gerakan dalam Tari Fomani didominasi oleh langkah tegas, hentakan kaki yang kuat, serta ayunan senjata tradisional, melambangkan keberanian prajurit dalam medan laga. Kostum para penari biasanya dilengkapi dengan ikat kepala, pakaian adat yang gagah, dan perlengkapan senjata seperti parang atau tombak.
Menariknya, dalam tradisi lisan masyarakat, Tari Fomani kerap dikaitkan dengan pasukan legendaris Patih Gajah Mada dari Majapahit. Sebagaimana Gajah Mada yang terkenal dengan Sumpah Palapanya untuk mempersatukan Nusantara, Tari Fomani pun merepresentasikan semangat juang dan persatuan. Dalam konteks lokal, tarian ini juga menjadi simbol bahwa leluhur masyarakat Siompu ikut merasakan dan mewarisi roh perjuangan besar tersebut.
Kini, Tari Fomani tidak lagi hanya ditampilkan sebagai tarian perang semata, melainkan juga sebagai identitas budaya. Ia hadir dalam pesta adat, penyambutan tamu kehormatan, hingga festival budaya, menjadi pengingat bahwa semangat perjuangan dan persatuan selalu hidup di hati masyarakat.
“Yang jelas untuk tradisi Meta’ua ini, kami di Dinas Kebudayaan sejak tahun 2022 sudah bergerak untuk perlindungan, pemanfaatan, sampai tahap undang-undang penetapan kebudayaan. Keberadaan Meta’ua yang hari ini kita laksanakan merupakan puncak kebiasaan masyarakat dalam mewujudkan warisan budaya masa lalu yang kini bisa kita lihat secara terang benderang. Alhamdulillah, sejak 2022 sertifikat KIK-nya sudah terbit. Dan tahun 2025 ini, untuk warisan budaya tak benda, kami usulkan dua tradisi, yakni Meta’ua dan Tari Fomani. Insha Allah, pada 5–11 Oktober mendatang kami akan ke Jakarta untuk mempresentasikan di hadapan dewan juri dengan membawa segala pernak-pernik yang dimiliki Buton Selatan,” ujarnya.
“Ada dua, Tari Fomani dan Tradisi Meta’ua. Ini sudah masuk tahap perbaikan kedua, dan sampai tanggal 16 kemarin semua berjalan mulus sesuai rencana. Harapan kami, tahun 2025 ini Buton Selatan harus punya warisan budaya yang lolos ke tingkat nasional. Alhamdulillah, dua ini sudah tercover,” tambahnya.
Ia pun berpesan kepada masyarakat agar terus menjaga dan melestarikan tradisi leluhur. “Kalau bukan kita yang melestarikan, siapa lagi? Karena itu, keberadaan Tari Fomani hari ini adalah wujud nyata untuk melestarikan budaya tradisi Meta’ua,” tegas La Ode Haerudin. (***)