Oleh: Sarmin
(Mahasiswa Pasca Sarjana Program Magister Administrasi Publik Universitas Slamet Riyadi (UNISRI), Surakarta)
Siapa Sekda baru Buton Selatan?
KEHADIRAN Sekretaris Daerah yang baru di Kabupaten Buton Selatan membawa harapan besar bagi arah baru tata kelola pemerintahan daerah. Dalam sistem pemerintahan, Sekda merupakan figur sentral yang menggerakkan mesin birokrasi, memastikan seluruh perangkat daerah bekerja dalam irama yang selaras, serta menjadi jembatan antara kepemimpinan politik dan manajemen administratif. Dengan pergantian Sekda, publik tentu berharap munculnya energi baru yang mampu memperkuat profesionalisme ASN, memperbaiki kinerja lembaga pemerintahan, dan menghadirkan pelayanan publik yang lebih berkualitas.
Birokrasi di Buton Selatan, seperti birokrasi di banyak daerah lain, menghadapi berbagai tantangan yang tidak sederhana. Di satu sisi, tuntutan masyarakat terhadap pelayanan publik semakin tinggi. Warga menginginkan layanan yang cepat, mudah, transparan, dan bebas dari praktik yang tidak profesional. Di sisi lain, ASN sebagai pelaksana pelayanan seringkali dihadapkan pada berbagai hambatan internal, mulai dari kualitas SDM yang belum merata hingga pola pikir birokratis yang masih konvensional. Di tengah kondisi tersebut, Sekda baru menjadi tokoh yang diharapkan mampu membawa perubahan nyata.
Salah satu tantangan utama yang harus dihadapi Sekda Busel adalah upaya menata kembali disiplin kerja dan budaya melayani ASN. Dalam banyak kasus, masalah birokrasi bukan hanya soal kekurangan sarana atau sistem yang rumit, tetapi juga menyangkut pola kerja yang belum sepenuhnya berorientasi pada kepentingan masyarakat. ASN perlu dibina untuk memiliki etos kerja yang lebih kuat, disiplin yang konsisten, serta kemampuan untuk memahami bahwa pelayanan publik bukan sekadar tugas, melainkan bentuk pengabdian.
Di sisi lain, penguatan kompetensi juga menjadi aspek penting yang harus diperhatikan. Kemajuan zaman menuntut ASN untuk mampu bekerja secara modern, menguasai teknologi, memahami sistem digital, serta mampu berkomunikasi dengan baik. Digitalisasi layanan, misalnya, hanya dapat berjalan efektif jika ASN memiliki literasi digital yang memadai. Sekda baru memegang peran strategis untuk memastikan pelatihan, pendampingan, dan peningkatan kapasitas ASN berlangsung secara terarah dan berkelanjutan.
Reformasi birokrasi di Buton Selatan juga memerlukan penyederhanaan alur pelayanan dan penguatan koordinasi antar-OPD. Berbagai fenomena pelayanan publik diberbagai daerah misalnya, tumpang tindih tugas, prosedur yang berlarut-larut, dan kurangnya integrasi data sering menjadi kendala dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Sekda baru diharapkan mampu menciptakan tata kelola yang lebih lincah (agile bureaucracy), lebih responsif, dan mampu bergerak cepat menjawab kebutuhan masyarakat. Penguatan sistem kerja berbasis kinerja dan pengawasan internal yang lebih efektif menjadi bagian dari pekerjaan besar yang harus dijalankan.
Tantangan lain yang tidak boleh diabaikan adalah integritas. Profesionalisme tidak hanya diukur dari kecepatan dan ketepatan pelayanan, tetapi juga dari komitmen ASN untuk bekerja secara bersih, transparan, dan bebas dari penyalahgunaan wewenang. Sekda baru memikul tanggung jawab moral untuk membangun budaya birokrasi yang menjunjung tinggi akuntabilitas, sekaligus memastikan mekanisme pengawasan berjalan tanpa intervensi. Ketika integritas menjadi nilai utama, maka birokrasi akan mampu memperoleh kembali kepercayaan publik.
Dalam konteks pelayanan publik, Sekda baru Busel juga dihadapkan pada realitas bahwa kebutuhan masyarakat semakin beragam. Di sektor kesehatan, pendidikan, kependudukan, dan perizinan, masyarakat menginginkan layanan yang tidak berbelit-belit dan dapat diakses dengan mudah. Untuk menjawab kebutuhan ini, diperlukan inovasi yang berani, baik melalui pemanfaatan teknologi maupun perbaikan tata prosedur. Inovasi tidak selalu harus besar dan kompleks; bahkan langkah kecil, seperti penyederhanaan alur permohonan atau peningkatan kualitas komunikasi antar-staf, dapat berdampak besar bagi kepuasan masyarakat.
Perubahan birokrasi tentu tidak dapat dilakukan dalam semalam. Dibutuhkan kepemimpinan yang kuat, konsisten, dan mampu menjadi teladan. Sekda baru Busel memiliki kesempatan untuk membuka babak baru dalam perjalanan birokrasi daerah, dengan menanamkan nilai-nilai profesionalisme, etika pelayanan, dan budaya kerja yang progresif. Kepemimpinan yang adaptif dan visioner akan menjadi kunci keberhasilan proses transformasi ini. Sekda tidak hanya dituntut menjadi administrator, tetapi juga katalisator perubahan—membawa birokrasi Busel menuju arah yang lebih baik.
Pada akhirnya, masyarakat Buton Selatan menaruh harapan besar kepada Sekda baru. Mereka menginginkan pelayanan publik yang lebih muda, cepat, dan berorientasi solusi. Mereka ingin melihat ASN yang hadir bukan sebagai pemegang kekuasaan, tetapi sebagai pelayan dengan integritas dan empati. Harapan ini bukan beban, melainkan energi positif yang dapat mendorong perubahan. Jika Sekda mampu memadukan komitmen, ketegasan, dan kebijaksanaan dalam setiap langkahnya, maka birokrasi Buton Selatan akan mampu melangkah lebih maju—menjadi pemerintahan yang profesional, terbuka, dan benar-benar berpihak kepada masyarakat. (*)
