LAMANINDO.COM, BUSEL- Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Buton Selatan (Busel) menggelar festival Siosakabalaba yang mulai dibuka pada Senin (28 Maret 2022) hingga Kamis (31 Maret 2022) mendatang.
Banyak orang bertanya-tanya tentang festival pariwisata ini. Pertanyaan yang sering terdengar adalah apa itu Siosakabalaba?
Jawaban dari pertanyaan ini, telah dipaparkan Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Disparekraf) Busel, La Ode Harwanto melalui media ini, saat ditemui di ruang kerjanya beberapa waktu lalu.
Dijelaskan Harwanto, Siosakabalaba adalah akronim dari tujuh kecamatan yang ada di wilayah administrasi Kabupaten Busel, yakni Siompu, Siompu Barat, Sampolawa, Kadatua, Batauga, Lapandewa dan Batuatas.
Selain dari Siosakabalaba, pertanyaan yang kerap muncul berikutnya adalah kenapa Busel disebut Bumi Gajah Mada? Diungkapkan Harwanto bahwa meskipun belum ada pembuktian secara ilmiah, namun masyarakat Busel sangat meyakini Maha Pati Gajah Mada yang pernah menguasai hampir 2/3 kawasan Asia ini pernah dan bertapa di Busel, tepatnya di Gunung Opo, Kelurahan Masiri, Kecamatan Batauga.
“Jadi Maha Pati Gajah Mada itu kalau dalam cerita orang tua-tua di sini, walaupun masih vokor atau narasi orang-orang tua, beliau (Gajah Mada, red) itu besar di tanah Buton. Ayah handa beliau itu adalah salah seorang dari mia pata miana (empat orang) yang mendirikan Kerajaan Buton kala itu. Empat orang itu adalah Simalui, Sipamanajo, Sijawangkati dan Sipanjonga. Sijawangkati inilah ayah handa Maha Pati Gajah Mada,” papar Harwanto.
Kerajaan Buton saat itu dipimpin oleh seorang ratu yakni, Wakaaka atau disebut juga Muzarafatul Izati Alfakri. Pada pemerintahan Raja Wakaaka ini, ayah handa Gajah Mada (Sijawakangkati) menempati jabatan sebagai Bontona Gundu-gundu pertama, dengan wilayah kekuasaan wilayah Buton bagian Selatan yang dahulu disebut Wasuemba.
Di kabinet pemerintahan Raja Wakaaka saat itu, kalau dicari dan didapatkan itu, yang menduduki jabatan Panglima Perang adalah Maha Pati Gajah Mada.
“Nah, sama dengan sekarang ini ketika Bapak H. La Ode Arusani sebagai Bupati, Sekdanya itu La Ode Budiman, Kadis Pariwisatanya itu Harwanto. Seperti itu,” kata Harwanto mencontohkan komposisi kabinet pemerintahan.
Kembali ke cerita tentang Gajah Mada. Jika demikian, pertanyaannya kemudian, apa hubungannya Gajah Mada dengan Kerajaan Majapahit?
Bahwa suami dari Ratu Wakaaka, adalah Sri Batara yang merupakan anak dari Raden Wijaya. Raden Wijaya adalah pendiri Kerajaan Majapahit.
“Jadi dulu, dalam rangka pemperluas daerah kekuasaan Majapahit, Raden Wijayah mengutus tiga anaknya ke wilayah timur nusantara. Dan mereka sampai di tanah Buton ini tiga bersaudara, Sri Batara, Putri Lasem dan Raden Citubun. Raden Citubun sebelum ke Ternate, pernah berkuasa wilayah Kamaru. Sedangkan Putri Lasem ke Bone. Sementara Sri Batara menikah dengan Wakaaka,” ulas Harwanto.
“Ketika Kerajaan Majapahit mengalami gejolak perang bersaudara di zaman pemerintahan Jaya Negara, atas nasehat dan petunjuk dari Sri Batara, maka Ratu Wakaaka mengirim panglima perangnya (Maha Pati Gajah Mada, red) untuk membantu mengamankan Majapahit yang tidak lain adalah negeri mertuanya. Sementara Raja Jaya Negara adalah saudara dari Sri Batara lain ibu,” Harwanto mengisahkan sejarah.
Nah, masyarakat Buton secara umum meyakini bahwa Maha Pati Gajah Mada itu berasal dari tanah Buton sangat berdasar, kendati belum dibuktikan secara ilmiah. Masyarakat percaya jika lokasi makam atau pusara Gajah Mada yang ada di Gunung Opo dieksafasi untuk dilakukan pembuktian secara ilmiah, pasti akan terbukti. Pasalnya, ada jejak yang dapat membuktikan bahwa itu makam Gajah Mada.
“Seperti yang tertulis dalam kitab Empu Prapanca Negara Kartagama tentang mata air benua, dan apa yang ada di dalamnya semuanya ada di situ. Bahkan di lokasi itu ada patung emas yang bisa menjadi pembuktian asli,” katanya.
Lagi-lagi pertanyaan muncul, apakah Maha Pati Gajah Mada berpusara di Gunung Opo? Menurut Harwanto, Gajah Mada moksa di situ. Yang dimaksud dengan moksa adalah sebuah konsep agama Hindu dan Buddha yang artinya kelepasan atau kebebasan dari ikatan duniawi dan lepas juga dari putaran reinkarnasi atau Punarbawa kehidupan.
“Karena beliau mampu mencapai makam hayyun fidrain atau hidup tak berkematian. Orang tua kita di Buton ini banyak seperti itu. Ada yang hilang di tempat tidurnya. Kalau beliau ini (Gajah Mada, red) hilang di tempat itu, di tempat bertapanya. Kalau dalam Islam menyebutnya hayyun fidrain. Kalau dalam agama Hindu Buddha menyebutnya moksa,” urainya lagi.
Dari carita ini sehingga nama besar Gajah Mada dimasukan menjadi tema dalam festival pariwisata Busel ini.
Dalam festival Siosakabalaba, selain diisi dengan berbagai kegiatan-kegiatan tradisional, pada gelaran ini Pemkab Busel juga mengusung tagline The Wonder Of South Buton atau keagungan tanah Buton Selatan.
Dari tagline tersebut, lanjut Harwanto, ternyata di Busel tidak hanya tokoh Gajah Mada yang bisa diceritakan. Banyak hal yang bisa menjadi keagungan Busel. Misalahnya, pada masa Sultan Murhum, Buton Selatan juga menjadi pintu masuknya penyebaran Islam di tanah Buton oleh ulama besar Syekh Abdul Wahid. Bahkan beliau mendirikan masjid di Desa Wawoangi yang masih bertahan dan kokoh hingga saat ini. Bahkan masjid tersebut dikatakan lebih tua usianya dibandingkan dengan Masjid Agung Keraton Buton yang ada di Kota Baubau.
Festival Siosakabalaba, dari namanya saja milik tujuh kecamatan yang ada di Busel, maka pesertanya juha berasal dari tujuh kecamatan. “Bentuk kegiatannya mulai dari karnaval budaya dengan membawa ikon dari setiap wilayahnya. Kita juga menyiapkan panggung seni dan budaya dimana setiap kecamatan akan menunjukan atraksi-atraksi seninya. Di sisi lain kami juga menyiapkan stand-stand untuk tujuh kecamatan untuk memamerkan dan mempromosikan potensi-potensi yang ada di kecamatannya masing-masing,” demikian Harwanto. (adm)